Ini fakta yang disodorkan Kementerian Pendidikan Jepang. Sejumlah 30% siswa kelas enam (setara SD) memiliki telepon seluler (ponsel). Di kelas sembilan (setingkat SMP), prosentasenya mencapai 60%.
Kebanyakan dari siswa pengguna ponsel itu menghabiskan waktu hingga berjam-jam di malam hari untuk berkirim surat elektronik (email). Jika saja temannya tak membalas dalam waktu 30 menit, biasanya siswa tersebut menghabiskan 1,5 jam lagi mencari teman di sekolah lainnya.
“Bahkan ada siswa lainnya yang mengarah pada kejahatan internet. Dalam satu kasus, anak-anak di bawah umur mengirimkan foto dirinya ke situs untuk diperjualbelikan pada para pedophile,” kata Masaharu Kuba, pejabat pemerintahan Jepang kepada AP.
Ulah-ulah seperti itulah yang mengkhawatirkan. Karena itu pula, pemerintah Jepang mulai melancarkan program mengingatkan orang tua untuk membatasi penggunaan ponsel pada anak-anak mereka.
Rekomendasi itu disepakati dalam pertemuan yang diadakan Departemen Pendidikan Jepang. Rekomendasi diteruskan kepada pemerintahan administratif Perdana Menteri Yasuo Fukuda.
Pertemuan itu juga meminta produsen Jepang untuk mengembangkan ponsel yang hanya fungsi berbicara, global positioning system (GPS) bernavigasi satelite. Sebab, mayoritas ponsel di Jepang saat ini merupakan gadget canggih, yang menawarkan akses internet berkecepatan tinggi 3G.
Kuba menegaskan, ponsel merupakan piranti yang lebih pribadi dibanding komputer. Orang tua akan lebih sulit memonitor apa yang telah dilakukan anaknya.
Sangat banyak anak-anak Jepang berangkat ke sekolah menggunakan transportasi jarak jauh menggunakan kereta listrik atau bis. Orang tua mempercayakan ponsel untuk selalu kontak dengan anak-anaknya.
Rata-rata orang tua mengeluarkan sekitar 4.000 yen (Rp 332 ribu, kurs 83) sebulan untuk membayar tagihan ponsel setiap anaknya.
Bagaimana dengan di Indonesia? Dokter AJ Djohan dari Rumah Sakit Suaka Insan, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, berpendapat perlunya pembatasan penggunaan ponsel pada anak-anak. "Dampak langsung terhadap kesehatan memang masih harus dibuktikan melalui penelitian. Tapi, masak anak-anak usia taman kanak-kanak dan sekolah dasar kini dibiarkan bebas menggunakan handphone," katanya.
Salah satu sisi yang dia sigi adalah aspek sosiologis anak-anak. Dari sisi ini, menurutnya, perkembangan mental, nalar, dan mungkin juga etika, perlu mendapat perhatian serius.
Djohan mengaitkan hal itu dengan perkembangan teknologi seluler, yang kini tak hanya mudah mengirim pesan singkat (SMS), tetapi juga bisa mengirim gambar dan mengakses internet. Hal itu, kata dia, bisa dipastikan akan memberikan pengaruh besar pada perkembangan anak-anak yang bebas menggunakannya